Blowe, O'e dan Bas'a
Penggalan 3
|
MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA
Blowe, O’e, dan Bas’a
Dengan menjejaki alur tombak bambu akhirnya
rombongan pengungsi, nenek moyang orang Atakowa tiba dengan selamat di
pelataran Nara Uha. Daerah ini
berbatasan langsung dengan sisi Timur kampung Atakowa sekarang. Geo fisik
wilayahnya termasuk hamparan datar antara dua puncak bukit kecil (owa lewung dan owa tobo). Luasnya kurang
lebih 1,5 Ha. Hamparan nara uha didominasi
oleh beberapa jenis pohon khas hutan tropis dan tidak ada lapisan hijau penutup
permukaan tanah. Ketinggian tajuk hutannya diperkirakan antara 15 – 25 meter.
Secara ekologi formasi hutan nara uha merupakan kantong perangkap
hujan. Letak topografi dan struktur
hutannya menyebabkan daerah ini menjadi pusat kondensai uap air. Sejak dulu hingga sekarang orang-orang
atakowa percaya bahwa nara uha adalah
sumber air hujan yeng memberikan kehidupan kepada aho manu bine lame (suku, kerabat dan seluruh peliharaan) kampung
Atakowa. Hutan nara uha dianggab keramat, oleh karena itu harus dilindungi
turun temurun. Kekayaan hutan seperti kayu, batu dan berbagai jenis hewan di
dalamnya tidak boleh diambil atau dipindah tempatkan baik sengaja maupun tidak disengaja. Diyakini
bahwa hutan larang ini memiliki kekuatan mistik yang bisa melindungi kampung dari bala bencana.
Sebagaimana tuturan dari tetua suku Lape,
alm. bp. Thomas Lusi, orang-orang tempo dulu punya kebiasaan untuk berperang
dan merebut tanah kekuasaan, oleh karena itu maka pilihan tempat untuk
membangun kampung harus benar-benar terlindung dan sulit dijangkau musuh. Pertimbangan
inilah yang mendorong nenek moyang orang
Atakowa memilih puncak bukit Bawa lire
sebagai tempat tinggal. Letaknya di sebelah Barat kampung Atakowa sekarang.
Karena jumlah warga suku kian hari bertambah banyak sementara luas puncak bukit
Bawalire tidak seberapa maka kampung
lalu di pindahkan ke lereng sebelah selatan bukit Atakowa. Daerah ini sekarang
dikenal dengan sebutan Lewu tuang
(kampung tua).
Religiositas dalam tata peradapan nenek
moyang orang Atakowa sangat kuat. Hampir seluruh aktivitas hidupnya selalu
dikaitkan dengan aspek religi. Hal ini terbukti melalui adanya bangunan dan
tempat-tempat yang dijadikan sebagai
pusat ritual kampung. Pusat ritual kampung tersebut letaknya di luar kampung, berhubungan langsung dengan hutan larang nara uha. Jumlah titiknya Ada tiga, masing-masing disebut : Blowe, o’e, dan bas’a. Sketsa tata letak dari masing-masing
titik seperti di bawah ini:
Dengan
memandang nara uha sebagai
benteng pelindung kampung maka blowe merupakan pintu masuknya. Dalam
bahasa setempat biasa juga disebut lara
wuhtu (ujung jalan). Blowe
ditandai dengan sebuah tiang kayu dan meja batu sebagai tempat sesajian.
Ritual yang biasa dilakukan di blowe, antara lain : hapa
huang (bertanya; menyelidiki) dan lo
tiwa ohka tuhte (tolak buang, kejar sampai menghilang).
Ritual Hapa
huang dilakukan pada saat menyambut tetamu kampung, baik kelihatan (nyata)
maupun tidak kelihatan (roh). Tujuannya untuk menanyakan asal usul serta maksud
kedatangan. Bila asal usul dan maksud
kedatangannya baik maka tamu akan
disambut dengan suka cita. Sebaliknya bila bermaksud kurang baik maka ia dipersilahkan
dengan hormat untuk kembali ke tempat asalnya.
Bahan kelengkapan yang sering digunakan
dalam ritual hapa huang antara lain:
buah siri, buah pinang, pucuk lontar kering , daun tembakau kering, tuak (minuman nira lontar, kelapa atau enau yang mengandung sedikit
alkohol) dan braha (gumpalan kecil
kapas putih).
Sebagaimana penjelasan lisan alm. Bp.
Paulus Lewo, Upacara Hapa huang harus
dihalui dengan pengucapan syair/mantera sapaan seperti berikut ini :
Mo
tuang ubung eting mo rasa sina lau
Bopihtang
mahtang dola lolo
Tede
ni ame denge gahing ni ame hodi
Lewu
ami owa tobo lelang ami bao lolong
Artinya : Engkau tuan dari Timur, raja
dari Barat; di pintu gerbang palang utama; katakan kami dengar gagaskan kami
terima; kampung kami owa tobo tanah kami bao lolong.
Setelah pengucapan matera sapaan para
tamu dibesihkan dari pengaruh jahat, halangan atau rintangan yang tidak
diketahui penyebabnya dengan bhraha. Upacara pembersihan ini disebut lew’a. Jumlah braha yang digunakan tujuh buah. Jumlah ini disesuaikan dengan sasaran masing-masing
: 1) ina ama (roh leluhur); 2) nihto woo (roh yang lepas dari raga dan tak dikenal); 3) praing pedateng (arwa orang mati); 4) nihtung nebing (jin penghuni tanah air
dan batu); 5) duli paling (jin penghuni
pohon-pohon dan hutan); 6) wera belong
(roh pembawa bencana berat); 7) wera kana
(roh pembawa bencana ringan). Ketentuan jumlah ini berlaku untuk semua upacara
tolak bala.
Siri, pinang, tembakau dan tuak baru boleh disuguhkan setelah upaca lew’a. Biasanya upacara hapa huang diakhiri dengan penyambutan tamu dengan
tari-tarian meriah (Soga tehte).
Upacara di blowe lainnya adalah lo tiwa ohka tuhte. Dilakukan
dengan tujuan untuk meminta pergi atau mengusir roh jahat yang mengganggu orang
per orang atau seluruh kampung. Proses ritual biasanya disertai dengan
pengucapan syair/mantra tertentu dengan
bahan-bahan sesaji antara lain : braha, beras merah, telur ayam dan anak ayam.
Berikut ini adalah salah satu penggalan
syair/mantra dalam ritual lo tiwa ohka
tuhte
Mo
mala maa pinang, ulu pero
Mo
mala nihtung nebing, duli paling
Oka,
molang, nihto woo, praing pdateng
Huba
wera belong, wera kana, nu pahti bingi
Bo
pihtang mahtang dola lolo, ebang puse la’wang pue
Pong
mai be mu uli alang lewu mara
Ome
kowa lama bothtung bao lolong bangan
Ami
ina kepa kiri ama wuanbala
Ami
limang laeng laeng, eting rega-rega
Artinya : Engkau serupa swanggi, seten
pembunuh; Engkau serupa jin penghuni tanah, air dan batu, penghuni pohon-pohon
dan hutan; tukang santet, dukun jahat, roh penasaran dan arwa orang mati; Di
pintu gerbang palang utama, di atap rumah
alas dinding; Ayo pergi, pulang ke tempat asalmu; kami orang kowa lama
bohtung bao lolong bangan; tangan kami bersih, kepala tak punya beban.
Titik
ritual kedua adalah o’e. Kekhasan di titik ini berupa adanya bangunan rumah kecil di atas empat tiang
kayu yang disebut O’e. Sketsanya
seperti di bawah ini :
Fungsi O’e antara lain : 1) Tempat menyimpan benda-benda pusaka seperti gong pemanggil hujan dan bohpong; 2) Tempat para pemangku adat menjalani tapa brata. Dalam bahasa setempat disebut bua (memencilkan diri, tidak makan dan tidak minum selama 1 – 3 hari).
Fungsi O’e antara lain : 1) Tempat menyimpan benda-benda pusaka seperti gong pemanggil hujan dan bohpong; 2) Tempat para pemangku adat menjalani tapa brata. Dalam bahasa setempat disebut bua (memencilkan diri, tidak makan dan tidak minum selama 1 – 3 hari).
Ritual yang biasa dilakukan di O’e adalah leta urang ahpung (memohon turun hujan), geu lia mura mabo (semacam sumpah adat dengan taruhan nyawa), dan
ohka tuhte biwang serang (Semacam
ritual pernyataan perang). Dari
ketiga ritual ini yang paling polpuler dan dilaksanakan hampir setiap tahun
adalah leta urang ahpung. Prosesi
ritualnya dilakukan sebagai tahap awal dalam persiapan tanam menanam.
Titik ritual kampung yang ketiga adalah Bas’a. Sesuai dengan namanya bas,a merupakan sebuah bale-bale besar
yang diberi atap. Fungsinya sebagai tempat berkumpul para lelaki kampung untuk
merencanakan sesuatu kegiatan besar yang melibatkan seluruh warga. Dalam
kondisi darurat perang bas’a juga
digunakan sebagai tempat tidur angkatan perang
sebelum pergi dan setelah kembali dari medan perang. Sketsa bangunan bas’a seperti di bawah ini :
Karena fungsinya sebagai tempat
berkumpul maka bas’a basanya terletak di bagian sisi sebuah lapangan
terbuka yang disebut namang. Areal
terbuka namang ini dipakai sebagai tempat diselenggarakan
hayatan kampung. Di tempat ini juga rasa suka cita warga kampung diekspresikan dalam bentuk tarian masal beku, oha dan dolo-dolo.
Ritual kampung yang
biasa dilakukan di Bas’a adalah muhpu hani ame rago. Ritual ini
dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan seuruh warga kampung diikuti dengan
pendataan masing-masing anggota klan.
Komentar
Posting Komentar