PENDIDIKAN ITU KITA
Anak dihukum
fisik, di medsos orang tua dan masyarakat rame-rame menyerang guru. Guru juga
tak mau kalah, balas menyerang dengan dalil fungsi pentingya dalam membentuk karakter manusia. Andaikan guru dan orang tua tidak
terjebak emosi mungkin tak pernah ada hukuman fisik, lalu saling serang yang
cendrung tak bernalar itu. Pendidikan adalah sebuah sistem yang kompleks,
ditangani banyak pihak untuk kepentingan dan tujuan sama. Ini semua bisa
terjadi karena ketidaksepahaman konsep bahwa, PENDIDIKAN ITU KITA, bukan saya, kamu, dia atau mereka.
Mengapa harus kita ?
Kata “Kita” menurut kamus bahasa Indonesia merupakan sebuah
pronomina persona pertama jamak. Kata ganti ini bermakna menyatukan tanpa
kecuali, karena di dalam kita ada subyek
saya, kamu, dia, mereka. Ketika digunakan sekat antar subyek tergerus. Terkait sistem komunitas sosial, kita mengeliminir
ego dan dikotomi suku atau kelompok. Menjadi payung besar yang mematikan fungsi
payung-payung kecil di bawahnya. Terkait persatuan dan tanggung jawab, kita merangkul semua pihak tanpa kecuali.
Jika pendidikan merupakan sebuah tanggung jawab maka sebutan kita paling
pas untuk para pengembannya. Berpatok pada ketentuan pasal 6, ayat (2) UU Sisdiknas
nomor 20 tahun 2003. Bahwa, Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, sebutan kita dalam tanda petik pengemban tanggung jawab pendidikan nasional juga menganut
prinsip tanpa kecuali. Artinya tidak
ada satu warga negara pun berada di luar
taggung jawab itu. Tentu saja besar
tanggungjawab masing-masing disesuaikan
dengan kedudukan serta fungsinya dalam sistem sosial masyarakat. Merujuk pada
pasal 7 – 11, guru, orang tua peserta didik, pemerintah dan masyarakat sekitar
menjadi kelompok yang paling bertanggung
jawab dalam menjamin kelangsungan sebuah
satuan pendidikan.
Guru adalah eksekutor
lapangan. Ada
sejumlah kewajiban yang melekat pada tubuh seorang guru antara lain : merencanakan
, melaksanakan proses, menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran bermutu; Mengembangkan kualifikasi akademik serta
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni; Bertindak objektif atau dengan kata lain tidak
diskriminatif dalam pembelajaran. Sebagai tenaga
professional seorang guru tidak bisa menghalalkan segala cara demi sebuah
perubahan prilaku. Ada rambu-rambu pengingat dan sandaran teori yang memandu
tindakannya. Kerja sama dengan tiga
komponen lainnya juga termasuk faktor penentu sukses yang tidak kalah penting.
Orang tua peserta didik adalah peletak dasar pendidikan dan paling
bertanggung jawab atas masa depan anak-anaknya. Sejak usia nol sampai menjelang
lima tahun anak dididiknya sendiri. usia lima sampai jelang tujuh tahun dibantu
para pengasuh kelompok bermain dan ketika masuk tujuh tahun baru tugas itu dibagi degan sekolah. Tugas dibagi artinya
bukan diserahkan sepenuhnya. Jadi tanggungjawan pendidikan anak lebih lanjut bukan hanya sekolah saja.
Pemerintah dan masyarakat termasuk unsur perekat structure building kita dalam mengemban
tanggung jawab pendidikan. Pemerintah
memiliki tugas mengarahkan, membina, mengawasi proses dan menyediakan modal
yang dibutuhkan. Sedangkan tugas masyarakat membantu mengawasi dan turut mendukung biaya penyelenggaraan. Fungsi
kontrol baik dari pemerintah maupun masyarakat dapat mendorong kemajuan serta memperkuat
sistem kelembagaan.
Mis konsepsi tugas fungsi menjadi akar masalah
Hampir setiap hari kita disugukan pemberitaan soal perseteruan guru
dengan orang tua gara-gara ulah anak.
Anak kedapatan merokok, dijewer guru,
orang tua ngamok ke sekolah. Anak menjahili ibu guru, diskorsing sekolah,
orang tua menuntut pertanggungjawaban dinas pendidikan. Anak
mencaci maki guru lewat medsos lalu dikeluarkan dari sekolah, orang tua membawa
persoalan ke lembaga perlindungan anak. Lebih buruk lagi, anak terlambat
sekolah, dihukum lari oleh guru akhirnya meninggal dunia, Lembaga HAM, kepala
wilayah dan polisi pun ikut bicara. Anak membunuh gurunya karena dilarang
merokok, semua pihak cendrung diam lantaran bingung.
Perseteruan guru-orangtua termasuk teladan negatif ketidakmampuan mengotrol emosi. Kalau saja guru bersandar
pada teori Gesell, bahwa pertumbuhan
adalah sebuah keajaiban, nakal, suka bohong, tidak disiplin dan membangkang merupakan
gejala
dari proses pertumbuhan menuju dewasa, tentu tak ada ledakan emosi yang
berdampak fatal bagi anak. Coba orang tua memainkan perannya dengan baik dalam
membentuk karakter anak sejak dalam kandungan
pasti gejala ekstrim pertumbuhan
yang memicu perseteruan itu mudah
dikendalikan.
Menyadari peran dan memahami tugas fungsi masing-masing merupakan
salah satu kunci pencegah kisruh guru-orang tua. Terkait tugas di sekolah sebagai pembina karakter kedewasaan, kesadaran pertama
yang harus dimiliki guru adalah memaklumi ketidakteraturan, ketidakserasian,
dan keburaman arah pandang anak. Intervensi tindak guru mestinya bisa membuat menjadi
teratur, serasi dan punya visi jauh ke
depan, bukan sebaliknya. Kesadaran keduanya, memaklumi bahwa anak mempunyai dunia sendiri. ketika
berproses guru hendaknya masuk ke dunia mereka (anak) dan menghantar dunianya
(orang dewasa) kepada mereka. Kekerasan bisa timbul jika anak dipaksa masuk ke dunia orang dewasa.
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak.
Mengapa utama, karena hanya orang tua
yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan prilaku, bahkan hidup anak mereka
sejak terbentuk sampai dewasa. Pihak lain termasuk guru cuma unsur tambahan. Porsi
tanggung jawabnya tergantung konsesus budaya
perdaban saat itu. Perkembangan era ini dengan campur tangan negara terhadap
pendidikan anak begitu jauh membuat kesadaran peran orang tua makin pudar. Hal
ini pula yang menyebabkan orang tua
cendrung menyerahkan semua urusan pendidikan anak kepada sekolah. Sebuah mis konsepsi
yang bisa memicu kisruh. Anak gagal ujian guru disalahkan. Anak berprilaku tak
sopan guru juga yang disalahkan.
Pembagian peran secara tegas bisa mencegah kisruh
Ketika terjadi kisruh biasanya
guru dan sekolah bertahan pada
pedoman tata tertib yang dibuatnya, sementara orang tua menuding sekolah sebagai biang utama, pihak
yang lalai dalam mendidik anak-anak
mereka. Di situasi macam ini khalayak umum cendrung memihak orang tua sedangkan
pemerintah setempat berupaya jadi penegah tapi kebanyakan gagal. Mestinya
pedoman tata tertib sekolah bisa menjadi kunci pemecah persoalan yang baik,
tetapi mengapa nyatanya tidak demikian ?
Setidaknya ada dua kelalaian yang sering dilakukan sekolah dalam perumusan pedoman tata tertib. Pertama,
rancangan tata tertib tidak dimusyawarahkan bersama orang tua, pemerintah dan tokoh
masyarakat setempat, diikuti sosialisasi kepada khalayak umum. Itu sebabnya apa
yang telah dirumuskan dengan susah payah tersebut sulit diterapkan. Kedua, isi uraian tata tertib tidak menyentuh pembagian
peran secara tegas antara pihak sekolah, orang tua, pemerintah dan masyarakat,
terkait pembinaan karakter anak. Akhirnya pedoman tata tertib yang dihasilkan
tak lebih dari sebuah dokumen standar administrasi pengelolaan saja. Hanya
sekolah sendiri yang paham isinya.
Untuk mencegah salah paham dan saling tuding antar pihak sebuah
tata tertib sekolah harus memiliki bagian panduan karakter yang sekurang-kurangnya
menjabarkan tentang : 1) Cakupan
karakter binaan; 2) Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini guru,
orang tua, pemerintah dan masyarakat; 3) Deskripsi peran dari masing-masing pihak
yang bertanggung jawab; 4) Strategi pencegahan; 5) Strategi penyelesaian
konflik. Rumusannya bisa disatukan per karaketer per pasal, bisa juga dalam
pasal berbeda.
Ambil contoh, pedoman tata tertib masuk sekolah bagi siswa. Jika
rumusannya disatukan haya dalam satu pasal saja maka ayat pertamanya
mendeskripsikan secara jelas waktu tiba dan pulang sekolah. Ayat kedua
menjelaskan peran dan batasan tanggung jawab sekolah, ayat ketiga tentang peran
dan batasan tanggungjawab orang tua, ayat keempat tentang peran pemerintah dan
masyarakat, ayat kelima tentang upaya pencegahan, ayat keenam tentang sanksi
dan nilai karakter, ayat ketujuh tentang strategi penyelesaian konflik.
Rumusan tata tertib dengan pembagian peran jelas dapat membangun
rasa tanggung jawab antar pihak. Guru tidak lagi memandang dirinya sebagai
terpenting dan satu-satunya yang paling bertanggung jawab, orang tua bukan cuma
suporter saja, tetapi pemain yang memperkuat tim, demikian juga pemerintah dan masyarakat
sekitar. Ibarat sepak bola guru, orang tua, pemerintah dan masyarakat sekitar
adalah sebuah tim yang solid. Ketangguhan tim bisa hilang bila ada anggota melakukan pelanggaran atau
berbuat curang.
Namanya tim berarti targetnya juga kemenangan tim bukan kemenengan diri.
Yang berlaku dalam tim adalah kita, bukan saya, kamu, dia atau mereka. Kerja
sama dan Kesadaran peran masing-masing menjadi
faktor penentu kemengan. Tim yang baik tidak memberi ruang untuk kisru antar
pihak menjadi lagu wajib
Komentar
Posting Komentar