SEKILAS TENTANG PERLAWANAN RAKYAT LERAGERE TERHADAP BELANDA


SEKILAS TENTANG
PERLAWANAN RAKYAT LERAGERE TERHADAP BELANDA
Oleh :  Marselinus B. Lewerang

Penduduk asli Leragere termasuk rumpun etnis Lamaholot Timur yang menempati wilayah pedalaman kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda termasuk  hagmente Hadakewa.   Persebaran pemukiman sebelum terbentuk NKRI meliputi delapan kampung, yakni : Lewoeleng, Lewolera, Ledoblolong, Atakowa, Lewotaa, Lewodoli, Lewoheba dan Balurebong. Sekarang menjadi Sembilan kampung karena ditambah hunian baru Tapo Barang (mekaran dari kampung Lewoeleng).

Menurut takaran sekarang  kehidupan masyarakat Leragere waktu itu jauh dibawah garis kemiskinan. Kondisi ini bertalian erat dengan tingkat pendidikan dan mata pencaharian.   Tidak ada satu pun putra Leragere yang diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan Belanda. Harga mereka di mata penguasa Belanda tak lebih dari seekor kuda yang cuma bisa dimanfaatkan tenaganya. Ditunggangi kemudian dilepaskan untuk mencari makan dari kebaikan alam. Kondisi ini terus berkepanjangan hingga awal kemerdekaan. Bersamaan dengan masuknya kelompok guru agama katolik  penduduk Leragere mulai mengenal tulis baca.  

Mata pencaharian penduduk sebelum terbentuk NKRI adalah bercocok tanam dan berburu. Jenis tanaman yang dibudidayakan waktu itu meliputi beberapa tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang tanah dan pisang. Seiring dengan kemajuan ekonomi tanaman perkebunan yang dikembangkan hanya jarak dan kelapa. Kedua tanaman ini belum memiliki nilai jual tetapi dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biji jarak digunakan sebagai bahan baku penerangan sedangkan buah kelapa selain dimakan juga digunakan sebagai bahan pembersih.
Orang Leragere  memiliki jadwal berburu tetap yaitu pada masa pasca panen bulan april-Mei dan masa persiapan kebun baru bulan Agustus setiap tahun. Lokasi perburuan tersebar pada empat titik mata angin, yaitu Baja-Pada untuk titik Timur, Nuhanera untuk Utara, Tobi larang untuk  Selatan dan Bobu-imo untuk Barat. Jenis hewan buruan antara lain babi dan rusa.

Sebab Pembangkangan Rakyat Leragere
Berladang dan berburu adalah sebuah mata pencaharian yang tergantung penuh pada alam. Bila kurang hujan jagung dan padi mati kekeringan sebelum berbulir, sebaliknya bila hujan berlebihan akan terjadi  gagal panen. Gagal panen termasuk pengalaman yang sangat tidak menggembirakan bagi penduduk Leragere. Hal tersebut  berhubungan erat dengan iklim lokal yang lebih dominan bulan keringnya. Kondisi Iklim semacam ini juga sangat berpengaruh pada migrasi hewan buruan. Ketika terjadi paceklik hewan buruan serperti babi dan rusa akan berpindah ke daerah lain yang cukup persediaan air dan sumber pakan. Dengan demikian pendapatan masyarakat tani Leragere sangat kecil.
Menurut kajian Drs. Max Korohama, Minimnya pendapatan inilah yang menyebabkan mengapa orang Leragere tidak membayar pajak, yang kemudian oleh  pemerintah Hindia Belanda dianggab sebagai tindakan pembangkangan. Sebab lain yang turut berpengaruh terhadap sikap bangkang rakyat adalah buruknya perlakuan kaki tangan belanda terhadap warga. Kaum Leragere sering dihina dan direndahkan martabatnya.

Perang Tiwaua
Kemarahan rakyat Leragere memuncak pada akhir bulan Agustus  1914. Menurut catatan Ambros Oleona, ketika pulang berburu dari Baja, kaum lelaki Leragere tidak menjumpai istri dan anak-anak gadis mereka di rumah. Mereka telah di bawa orang belanda ke bifak Tiwaua1) sebagai jaminan. Mereka baru akan dipulangkan kalau tunggakan pajak telah dilunaskan. Menyaksikan keadaan tersebut kaum para lelaki  leragere naik pitam. Akhirnya atas Prakarsa Tong Kua, dari Lewoeleng, Dalo Moni dari Ledoblolong, Poloama dari Lewodoli dan Labi Poreng dari Atakowa, diadakan  rembuk Leramau2) untuk merencanakan sebuah serangan mendadak ke Bifak Tiwaua. Hasil rembuk antara lain :
1.      Menetapkan Poloama sebagai pemimpin tempur sekaligus bertugas untuk memenggal kepala sersan Eichman3).  
2.      Menetapkan waktu penyerangan, yaitu dini hari, saat jago berkokok untuk pertama kali.
Akhirnya penyerangan ke lembah Tiwaua dilakukan dari empat penjuru mata angin. Dalam penyerangan tersebut Sersan Eicman dan hampir semua anggota rombongan berhasil dibunuh. Sesuai catatan, hanya dua orang serdadu belanda yang berhasil meloloskan diri. Dari mulut  mereka inilah berita pembantaian di Tiwaua sampai ke Batavia. Pada tahun 1915 beberapa tokoh masyarakat leragere ditangkap Belanda. Selanjutnya di buang ke Ende, Ndao (Rote) dan Sumatra.

Tokoh dibalik tragedi Tiwaua
1.      Polo ama; pemuka dari kampung lewodoli yang bertugas sebagai penggerak utama saat serangan dini hari.
2.      Tong Kua; pemuka dari kampung Lewoeleng yang berperan sebagai penggagas utama dan pemimpin rembuk Leramau.
3.      Dalo Moni; Pemuka dari kampung ledoblolong yang berperan sebagai penggagas dan penggerak dari Ledoblolong.
4.      Labi Poreng; Pemuka dari kampung Atakowa yang berperan sebagai penggagas dan penggerak dari Atakowa.
5.      Liko; pemuka dari kampung balurebong yang berperan sebagai penggagas dan penggerak  dari Balurebong.
Beberapa pemuka lain dari kampung Lewotaa,  Lewoheba dan Lewolera hanya disinggung peran mereka tetapi tidak disebutkan namanya.

Catatan :
1) Bifak tiwaua adalah los panjang sebagai tempat persinggahan yang dibangun di lembah Tiwaua. Pada lintasan jalan setapak yang menghubungkan legareger dengan kampung Atanila dan Wowong.
2) Leramau adalah tempat musyawarah umum. Tempat ini terletak di tengah kampung ledoblolong, di bawah sebatang pohon beringin yang rindang. Di tempat ini juga terdapat tempat duduk batu untuk pemimpin dari masing-masing kampung. Karena jumlah tempat duduk batu tersebut delapan buah maka tempat rembuk Leramau juga dikenal dengan sebutan “Nobo buto.”
3)Sersan Eichman adalah perwakilan pemerintah Hindia belanda di Lembata, saat itu bertindak sebagai pemimpin rombongan.

Refrensi :
1.      Drs. Maks Korohama, 1979. Kajian Sejarah perlawanan rakyat terhadap Belanda di  Lembata (Skripsi).
2.      Sesilia Gasparin Leni S.Pd, 1995. Perlawanan Rakyat Leragere Terhadap Kolonial Belanda (Skripsi)
3.      Catatan lepas Ambros Oleona, 1978. Penilik Kebudayaan  Lembata

Komentar

  1. terimakasi pa...
    saya minta kontak bapak Drs.Maks Korohama dan Ibu Sesilia Gasparin, S.Pd. terimaksi

    BalasHapus
  2. Trimakasi pa untuk informasinya. Untuk penulisan tentang perjuangan masyarakat Lera gere saya bisa mendapatkan buku ataupun sumber lain pak dalam hal penelitian lanjutan saya mengenai perjuangan masyyarakat lera gere

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKNOLOGI PERKEMBANGBIAKAN HEWAN

TEKNOLOGI PERKEMBANGBIAKAN PADA TUMBUHAN

REPRODUKSI SEL