KELUARGA DALAM PRESPEKTIF  BUDAYA LERAGERE

Oleh : Marselinus B. Lewerang
*) Disajikan pada forum diskusi masyarakat etnis
                                                                                                     
Pandangan Umum
No man is an island, Tak ada manusia yang ingin hidup menyendiri, sama seperti sebuah pulau terpencil tak berpenghuni. Manusia secara kodrati harus hidup bersama dengan manusia lain. Ini merupakan  hukum yang membentuk manusia sebagai homo socion atau makhluk sosial. Hukum ini pulalah yang mendorong terbentuknya sebuah keluarga.
Pada kesempatan diskusi ini mari kita kaji lebih jauh tentang “keluarga” dalam psepektif budaya leragere. Apa dan bagaimana konstruksi keluarga yang adaptif terhadap lingkungan lokal,  taat asas dan mempedomani nilai-nilai positif budaya setempat harus bisa digali dan dirumuskan kembali dalam bentuk kesepakatan bersama.
Keluarga menurut Sosiolog  Duvall Dan Logan (1986)  merupakan sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial dari tiap anggotanya. Dalam dokumen  Departemen Kesehatan RI (1988) Keluarga didefinisikan sebagai unit terkecil  masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Secara lebih tegas  UU. No. 10 Tahun 1992 menetapkan batasan keluarga mencakup suami-istri atau sumi-istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya. Perlu diingat bahwa batasan UU ini ditetapka hanya dengan tujuan untuk memudahkan pelayanan negara
Sebagaimana budaya lamaholot pada umumnya orang Leragere  cendrung memandang kelurga secara geneologis (hubungan darah) dalam skop yang lebih luas. Cakupan Sebuah Keluarga tidak hanya terbatas pada ayah, ibu dan anak saja tetapi juga termasuk kerabat lain seperti kakek, nenek, saudara, paman dan keponakan. Nampaknya budaya Leragere menganut  prinsip kekerabatan tanpa batas. Ini merupakan sebuah senjata ampuh untuk melawan sikap individualistik sekaligus tantangan dalam memajukan kesejahteraan keluarga.
Individualistik menurut Watson & Morris (2002) merupakan sikap yang dimiliki   individu yang cendrung mengisolasi diri dari masyarakat. Sikap seperti ini berdampak buruk terhadap perkembangan struktur sosial serta toleransi antar sesama. Dalam perkembangan  masa kini individualistik dicatat sebagai salah satu dampak pergembangan global yang bisa menghancurkan peradapan. Dengan demikian maka individualistik termasuk gejala perkembangan yang harus dihilangkan. Apa gunanya maju kalau pada akhirnya yang didapat cuma sebuah   kesendirian sama seperti pulau terpencil tak berpenghuni. Bila kebersamaan dibangun mulai dari keluarga maka akan terbentuk sistem sosial yang kuat dengan mengedepankan nilai-nilai positif budaya lokal.


Keluarga dan Sistem Sosial
Sistem sosial Leragere tidak mengenal strata atau pembedaan tingkat sosial. Meski ada penggunaan istila kebelang, tetapi ini lebih diarah pada penghuni pertama kampung yang disebut tanah rala atau tuan tanah. Hak tuan tanah terlihat pada tata   ritual penyembelihan hewan korban. Dalam ritual penyembelihan ini suku tuan tanah bertugas sebagai pemegang kepala. Terkait ini  maka nama suku tuan tanah pada beberapa kampung disebut eteng atau tarang. Sesuai tradisi suku tuan tanah tidak otomatis menjadi kepala kampung karena biasanya pemegang jabatan ini dipilih langsung melalui musyawarah mufakat.
Jauh sebelum masuknya agama dan terbentuknya NKRI orang Leragere sudah berhasil menerapkan dengan baik asas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, merdeka, persatuan dan kesatuan, kedaulatan rakyat, dan adil  makmur. Tentang ini bisa digali melalui beberapa situs  budaya animisme seperti nuba, bohpong, o’e, ba’sa dan naming.
Keluarga Leragere tempo dulu sudah percaya bahwa ada kekuatan dan kuasa maha besar yang menjadikan serta memelihara semua yang ada di alam semesta ini. Langit dan bumi adalah hasil karyanya. Sebagaimana suku lamaholot pada umumnya orang leragere  percaya bahwa manusia terbentuk dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Benih kelamin laki-laki dilukiskan sebagai kekuatan lera wulan, sedangkan benih kelamin perempuan merupakan kekuatan tanah ekan. Oleh karena itu maka penguasa atas alam semesta  disebut Lera Wulan Tanah Ekan. Secara fisik dinyatakan dengan tugu batu yang disebut nuba. Biasanya nuba ditanam berdapingan dengan sebuah batu ceper yang dinamakan nara (B. K. Koten, 1983).
Lahir anak laki-laki atau perempuan dalam sebuah keluarga tidak bisa ditentukan oleh manusia. Hanya Sang Maha Kuasa sendiri saja yang memiliki kewenangan ini. Ada keluarga mungkin bisa melahirkan anak laki-laki dan perempuan, ada yang hanya anak perempun, atau  laki-laki saja, bahkan ada yang tidak mempunyai keturunan. Misteri tersebut kemudian menjadi alasan terbentuknya hukum adat terkait belis  perkawinan yang dikenal dengan sebutan : Bi’neng mapang La’meng (Anak perempuan suku menanggung belis anak laki-laki suku). Hukum tersebut bisa diterapkan dengan baik bila ada kesepahaman atas filosofi Bi’neng su’u, La’meng su,u (semua anak baik  perempuan maupuan  laki-laki adalah milik dan tanggungjawab suku). Sikap ego dan  Ketidak sepahaman atas filosofi ini sering menimbulkan perseteruan antar keluarga dan kerabat suku.
Orang Leragere yakin bahwa tanah kelahirannya merupakan  warisan  turun temurun bukan hasil rampasan. Tentang keyakinan ini terungkap melalui penggalan syair : Lewu tuang sar’ang ulung; tanah nuba nara; ina tau ama gopa. Artinya Leragere adalah kampung lama  titipan para leluhur, bukan hasil rampasan milik orang. Makna kemerdekaan bisa digali dari sini. Nenek moyang orang leragere memandang kampung halamannya sebagai wilayah merdeka. Pandangan tersebut kemudian  diwujudkan melalui pendirian yang kokoh dan kemauan keras untuk menentang penjajahan. Buktinya bisa digali dari peristiwa Tiwa Ua. Melalui peristiwa heroik ini  nenek moyang orang Leragere membuktikan dirinya sebagai manusia merdeka yang berhak penuh atas kampungnya sendiri.

Sejak dulu orang Leragere sudah mengenal persatuan dan kesatuan.  Yang  tidak hanya sebatas kampung sendiri tetapi mencakup seluruh wilayah etnis Leragere. Hal ini bisa digali  melalui filosofi “Nobo buto.”  Arti lurusnya adalah delapan tempat duduk batu. Filosofi ini lahir dari semangat persatuan  kesatuan antara delapan kampung  seetnis dan budaya musyawarah mufakat.
Untuk memecahkan berbagai persoalan yang mengganggu hayat hidup bersama biasanya diadakan rapat besar yang disebut tobo baung. Rapat ini dihadiri para tetua dari delapan kampung etnis Leragere yakni : Lewoeleng, Lewolera, Ledoblolong, Atakowa, Lewotaa, Lewodoli, Lewoheba dan Balurebong. Tempat pelaksanaan rapat umum di Leramau. Sebuah lapangan terbuka di tengah kampung Ledoblolong. Pada masa setelah Indonesia merdeka lapangan tersebut difungsikan sebagai lokasi pasar barter. Tempat pertemuan para pelaku pasar dari Leragere, Leralodo, Lamalera,  Kedang, Ileape dan Hadakewa. Di tengah lapangan leramau terdapat sebatang pohon beringin. Di sekeliling pohon besar ini dipasang delapan tempat duduk atau nobo dari batu ceper. Ketika diadakan musyawarah nobo ini akan ditempati oleh masing-masing kepala kampung. Pemberian tempat istimewah kepada kepala kampung merupakan bentuk kedaulan dengan perwakilan yang bersifat sangat hakiki. Suara kepala kampung dianggap mewakili suara dari semua warga kampungnya. Pada konteks ini juga Kepala kampung diterima sebagai pemimpin yang mampu mewujudkan keadilan serta kemakmuran bagi warganya.
Budaya persatuan serta musyawarah mufakat pada tingkat keluarga  dan suku bisa digali melalui ungkapan :  Muh’pu han’i, ame rago a’ang pulo a’ring lema aho manung bineng lame. Ungkapan tersebut ditujukan pada aktifitas atau tindakan mengumpulkan segenap anggota keluarga atau suku guna membicarakan hal penting. Tujuan utamanya berupa tercapai kata sepakat yang dikenal melalui ungkapan : Gui tang uing, pudung tang mudung. Perkembangan peradaban sekarang  yang cendrung memberi ruang bagi tumbuh suburnya sikap individualistik membuat budaya positif persatuan kesatuan serta musyawarah keluarga makin hari makin pudar.  Mestinya setiap keluarga di Leragere berperan aktif dalam mempertahankan nilai positif budaya lokal  terkait rasa hormat, persatuan kesatuan dan gotong royong.

Keluarga dan Gotong royong
Sosiolog Koentjaraningrat (1971) memandang gotong royong sebagai bentuk kerjasama antar keluarga yang diwariskan turun temurun. Kebiasaan ini tercatat sebagai salah budaya nasional yang sangat  membantu  meringankan pekerjaan. Dalam tradisi Lamaholot kegiatan gotong royong dikenal dengan sebutan gemohing (B.K. Koten 1983). Tradisi ini biasa diterapkan dalam kegiatan-kegiatan seperti membuka ladang, menanam, menyiang dan memanen. Bentuk non tenaga manusianya terlihat pada kegiatan kumpulan uang atau barang.
Sejak dulu orang leragere juga sudah mengenal dan menerapkan dengan baik sistim gotong royong. Dalam kegiatan  ladang dikenal dengan sebutan pong mupu. Masing-masing suku atau kampung membentuk kelompok kerja. Tugas kelompok tersebut adalah menyelesaikan pekerjaan milik anggota. Jata masing-masing anggota diatur secara bergilir. Anggota yang berhalangan hadir pada jadwal yang telah disepakati wajib memenuhi kealpaannya. Gotong royong dalam kegiatan perladangan ini bisa di gali dari penggalan syair : Seda brene-brene, nereng bote awo pahti; hodi tahpang lima waing preto ubu brete. Makna tersirat dari syair ini adalah pekerjaan ladang yang berat bisa jadi ringan bila ditangani bersama-sama.
Bentuk gotong royong lain dari   masyarakat etnis Leragere juga terlihat pada kegiatan yang  dikenal dengan sebutan : Taling tu’lung, poh’ta bor’a. Merupakan suatu bentuk kegiatan membantu memenuhi atau melengkapi kekurangan kerabat. Nampaknya seperti arisan tetapi tidak mewajibkan keluarga yang ditolong untuk membalasnya. Meski demikian keluarga terbantu tetap memiliki beban moril untuk membalasnya di kelak kemudian hari. Tentang ini bisa digali dari ungkapan : Lerong bo gonu, bulong monu; Hee nung tea lahka monu di tea. Arti lurusnya : Hari ini saya, besok giliran kamu; Siapa punya sudah tidak ada maka kamu punya juga tidak ada.
Ketika segala sesuatu dinilai dengan uang maka budaya gotong royong lambat laun mulai kehilangan makna. Bantuan dalam bentuk barang atau uang dicatat sebagai hutang yang wajib dilunaskan. Perubahan ini bisa membuat orang yang menerima bantuan menjadi tertekan. Mungkin saja saat tempo pembayaran tiba yang bersangkutan dalam kondisi tidak mampu. Pada gotong royong menyelesaikan pekerjaan sekarang ini nilai tenaga kerja mulai dihargai dengan upah. Akibatnya keluarga yang kurang mampu mungkin tidak pernah merasakan manfaat gotong royong tersebut. Jatanya selalu diserahkan ke pihak lain yang mampu membayar. Bila nilai gotong royong dalam arti sebenarnya dihidupkan kembali maka urusan pendidikan anak  menuju generasi penerus berkwalitas makin meningkat.

Keluarga dan Pendidikan Anak
Sejak dulu masyarakat etnis Leragere telah memahami tentang pentingnya pendidikan anak dalam sebuah keluarga. Sangat disadari bahwa pengetahun dan ktrampilan merupakan bekal hidup anak kelak setelah membentuk rumah tangga sendiri. Pada masa sebelum ada sekolah tugas  pendidikan anak ditangani sendiri oleh orang tua, kerabat dan para tetua. Peran ini bisa digali melalui ungkapan : Ina tube panu, ama nuru nuan; mo hodi hea, tou tele; saga mu lima, saga mu lei; saga mu nara,saga mu su’u la’ma le’lang a’lang. Arti harafiahnya, ajaran orang tua layak kau terima, jaga kaki, jaga tangan, jaga nama, suku dan kampung halaman. Bahwa tidak ada  orang tua yang mau supaya anaknya gagal di kemudian hari.
Pendidikan anak pada tempo dulu lebih bersifat  praktis dan mengakar, tidak terikat waktu, tempat dan biaya.  Cakupan pembelajaran anak hanya sebatas pengetahuan kealaman termasuk dunia gaib dan ketrampilan teknis. Meski demikian ukuran ketercapaian belajarnya sangat tinggi dibanding target capaian belajar sekarang. Pada masa sebelum orang mengenal  huruf ini seorang anak laki-laki baru dianggab berhasil bila mampu membuka kebun baru, mengiris tuak dan membangun lumbung. Sedangkan anak perempuan harus bisa memasak, memintal benang dari kapas, mengikat motif dan menenun sarung.
Mengakarnya pendidikan di masa-masa sulit   juga terlihat pada tingkat kepatuhan anak terhadap orang yang lebih  tua,   kemandirian dalam memecahkan masalah hidup dan  pelanggaran atas norma susila. Kondisi tempo dulu ini ternyata sangat bertolak belakang dengan kenyataan  sekarang. Ketergantungan anak pada orang tua sangat tinggi, rasa hormat terhadap yang lebih tua kurang nampak dan pelanggaran norma susila makin melonjak. Menjadi pertanyaan  Apakan ini disebabkan karena orang tua dan guru salah mendidik ataukah sistem teknisnya tidak sejalan lagi dengan kemajuan peradaban ?   
Pola pendidikan anak dan kemajuan peradaban itu ibarat keping mata uang. Dua muka dengan corak berbeda tetapi harus tetap utuh dalam satu lingkaran. Bila pola pendidikan yang diterapkan tidak seiring lagi dengan kemajuan peradaban maka akan timbul retak  atau pecah  pada bagian-bagian tertentu. Keinginan untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan peradaban  akan menghasilkan lompatan-lompatan tidak beraturan. Pada kondisi seperti ini yang paling merasakan akibatnya adalah anak.
Kenyataan sosial sekarang seperti pengangguran tenaga kerja terpelajar, mahalnya biaya pendidikan dan budaya hidup mewah termasuk faktor yang membatasi kemauan orag tua untuk menyekolahkan anaknya. Banyak orang tua berprinsip bahwa untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau  pada akhirnya jadi penganggur. Jika  ditelusuri lebih jauh sesungguhnya prinsip ini muncul karena merasa tidak mampu menanggung biaya pendidikan. Boleh jadi perasaan tersebut lahir dari tekanan budaya hidup mewa, menguatnya sifat indifidualistik dan lunturnya semangat gotong royong.

Penutup
Kemajuan suatu wilayah sangat ditentukan oleh daya dukung keluarga pembentuknya. Bila keluarga sejahtera dan memelihara baik budaya positif rasa hormat, persatuan, dan gotong royong  maka akan tercipta sistem sosial yang kuat, terstruktur dan tertata baik. Penyakit peradaban maju seperti sikap individualistik,  ketaatan semu dan budaya hidup mewah dapat dicegah.

DFTAR REFRENSI

Koentjaraninggrat. 2009. Ilmu Antropologi. Renaka Cipta Jakarta

Koten K. B. 1971, Timbulnya Kepercayaan Asli Masyarakat Lewolema (Skripsi) FKIP, Undana Kupang

Paul B. Horton. 1987. Sosiologi,.Erlangga. Jakarta

Watson, P.J., & Morris, R.J. 2002. Individualist collectivist values: Hypotheses suggested by Alexis de Tocqueville. The Journal of Psychology,


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKNOLOGI PERKEMBANGBIAKAN HEWAN

TEKNOLOGI PERKEMBANGBIAKAN PADA TUMBUHAN

REPRODUKSI SEL