Ina Kepakiri Ama Wuanbala



Penggalan 2

MENGALI KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT  ATAKOWA

Ina Kepakiri Ama Wuanbala
Dituturkan  turun temurun bahwa ketika perahu tumpangannya rusak parah dan  pelayaran  tidak bisa dilanjutkan lagi rombongan pengungsi  Nuha ata terpecah menjadi tiga kelompok kecil. Konon katanya tempat kejadian tersebut diperkirakan sekitar  tanjung suba wutun. Peristiwa ini punya hubungan tuturan dengan terbentuknya tepi). Kelompok pertama dan barang bawaan berupa layar dari daun gebang, alat pendayung dan wuwo (alat penangkap ikan) meneruskan perjalanan menyusur sepanjang pantai ke arah Barat.  kelompok kedua menaiki lereng sekitar teluk waiteba dan liang kape. Kelompok ketiga  memilih arah  melalui  kali sebelah Selatan tepi. Sebagaimana tuturan, barang bawaan kelompok kedua dan ketiga itu sama, yakni berupa alat tenun (ebo, hapi dan huri), batu asa (elu), blida (semacam parang panjang yang digunakan untuk berperang) dan tombak .
Nenek moyang orang Atakowa termasuk kelompok ketiga. Jejak perjalanannya di mulai dari muara, bergerak maju  mengikuti arah  datangnya aliran air. Tentang pilihan jalan susuran ini terungkap melalui penggalan syair :
Lau dai lungu dai
Wae uro mitong tena tahpo balang
Geri gawa tale dori lungu hipong
Moi wae ni mo leko moi wahto ni mo seda
Artinya :
Dari laut dari ujung kali; muara luas perahu pelepah kelapa; naik berpandu tali susuri kali sempit; hindari genangan air, injak di atas batu.
Mencermati kondisi geo fisik sekarang, muara yang dimaksud sebagai  titik awal perjalan adalah daerah genangan air payau yang berhubungan lansung dengan lungu muda. Sebuah sungai kecil yang terbentuk dari penyatuan antara ruas kali belu buto dan mawe.  Pilihan perjalanan selanjutnya  adalah  menyusur  belu buto hingga berakhir di mata air lewu reu, tepatnya sekitar ruas kali mati kepakiri.
Rupanya di kali mati kepakiri rombongan menghadapi jalan buntu. Ada  lereng terjal yang  sulit didaki. Tetua rombongan lalu meminta untuk di buatkan sebilah tombak dari batang bambu (rehpang). Tombak itu lalu dilemparkan ke arah mata air Lewu reu. Sebagaimana tuturan, tombak yang dilempar tetua tersebut  menembus liang mata air, terus merambah dalam tanah sepanjang punggung bukit hingga terpelesat keluar dari pucak bukit. Rombongan dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan mengikuti alur tombak.
Lubang  keluar tombak bambu  diperkirakan sekitar pelataran hutan larang   Nara uha. Sekarang bekas lubang itu ditutup dengan timbunan batu. Orang atakowa percaya  bahwa jika tumpukan batu tersebut dibuka bisa terjadi bencana hebat air bah. Dari dalam liang  menyemprot keluar air laut  bersama  sosok-sosok manusia baru dengan macam-macam karakter.
Tentang peristiwa tombak bambu ini terungkap melalui penggalan syair :
Ina kepakiri ama wuanbala
Gu rehpa pou pele gu gala lebo lele
Lewu tuang sa’rang ulung
Bre bao larang wulan lodo hodi hea
Artinya :
Ibu kepakiri bapa wuanbala; tombak bambu tombak tembagaku pasti tembus pasti melintas; kampung tua hunian lama; turun dan tangkap dari atas beringin putih. Syair ini lebih  sering dipakai sebagai mantra adat. Rangkaian kata di setiap lariknya memiliki makna bersayap sehingga agak sulit ditafsir.
Dari penggalan syair “Ina kepakiri ama wuanbala” dapat diketahui bahwa  ada   tokoh yang berperan sebagai  induk semang dan leluhur orang Atakowa. Penggalan ini merupakan sebutan untuk nama sepasang suami istri. Kedua sosok inilah  yang menurunkan suku-suku asli Atakowa. Ina Kepakiri adalah  ibu yang agung, yang melahirkan sosok manusia baru. Ama Wuanbala adalah bapak yang mengayomi, yang menjadikan sosok manusia baru itu bermartabat.
Sebagaimana keterangan lisan dari tetua suku Ole pu’e, Alm. Bp Paulus Lewo, Orang Atakowa mempunyai tokoh kebagaan yang menjadi simbol dan nama besar kampung, yaitu Ina kepakiri dan Ama Wuanbala.  Semua bentuk ritual adat selalu di tujukan kepada kedua Tokoh ini. Diyakini bahwa kedua figur ini memiliki peran sebagai perantara dalam hubungan vertikal antara manusia di bumi dengan Ama Lera wulan Tana Ekan.
Ditilik dari struktur kekuasaan dan budaya animisme kedudukan  Ina Kepakiri  Ama Wuanbala langsung di bawah Lera wulan tana ekan. Benediktus Kada Koten, 1979. Dalam studi tentang Tumbuhnya Kepercayaan Asli Masyarakat Lewolema, mendeskripsikan Lera wulan tana ekan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sang pencipta yang menjadikan langit dan bumi.
Wujud Ina Kepakiri Ama Wuanbala dalam sistem  ritual  adat kampung Atakowa  disimbolkan dengan  lempengan batu/batu ceper dan tugu batu. Batu ceper = simbol tokoh perempuan sedangkan tugu batu = simbol tokoh laki-laki. Kedua simbol ini   biasanya dipasang berdampingan di depan bagunan O’e (rumah kecil diatas empat tiang yang digunakan untuk menyimpan benda-benda ritual seperti elu = batu asa; bohpong = batu bulat yang dipercaya memiliki kekuatan magis dan gong keramat). Situs-situs ritual ini sekarang tidak ditemukan lagi karena telah dimusnahkan bersamaan dengan masuk ajaran agama Katolik ke wilayah Leragere.
Dalam tradisi adat lamaholot situs ritual dalam bentuk lempengan dan  tugu batu disebut nuba nara. Sebagaimana deskripsi Benediktus Kada Koten, nuba nara  merupakan simbol yang mengambarkan sosok leluhur sekaligus menunjukan wujud yang maha kuasa, yang menjadikan segala sesuatu.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKNOLOGI PERKEMBANGBIAKAN HEWAN

TEKNOLOGI PERKEMBANGBIAKAN PADA TUMBUHAN

REPRODUKSI SEL