Ina Kepakiri Ama Wuanbala
|
MENGALI
KEBUDAYAAN KAMPUNG ADAT ATAKOWA
Ina Kepakiri Ama Wuanbala
Dituturkan turun temurun bahwa ketika perahu
tumpangannya rusak parah dan pelayaran tidak bisa dilanjutkan lagi rombongan
pengungsi Nuha ata terpecah menjadi tiga kelompok kecil. Konon katanya tempat
kejadian tersebut diperkirakan sekitar
tanjung suba wutun. Peristiwa ini punya hubungan tuturan dengan
terbentuknya tepi). Kelompok pertama
dan barang bawaan berupa layar dari daun gebang, alat pendayung dan wuwo (alat penangkap ikan) meneruskan
perjalanan menyusur sepanjang pantai ke arah Barat. kelompok kedua menaiki lereng sekitar teluk
waiteba dan liang kape. Kelompok ketiga memilih arah melalui kali sebelah Selatan tepi. Sebagaimana tuturan,
barang bawaan kelompok kedua dan ketiga itu sama, yakni berupa alat tenun (ebo, hapi dan huri), batu asa (elu), blida (semacam parang panjang yang digunakan untuk berperang) dan
tombak .
Nenek moyang orang Atakowa termasuk
kelompok ketiga. Jejak perjalanannya di mulai dari muara, bergerak maju mengikuti arah
datangnya aliran air. Tentang pilihan jalan susuran ini terungkap
melalui penggalan syair :
Lau
dai lungu dai
Wae
uro mitong tena tahpo balang
Geri
gawa tale dori lungu hipong
Moi
wae ni mo leko moi wahto ni mo seda
Artinya :
Dari laut dari ujung kali; muara luas
perahu pelepah kelapa; naik berpandu tali susuri kali sempit; hindari genangan
air, injak di atas batu.
Mencermati kondisi geo fisik sekarang,
muara yang dimaksud sebagai titik awal
perjalan adalah daerah genangan air payau yang berhubungan lansung dengan lungu
muda. Sebuah sungai kecil yang terbentuk dari penyatuan antara ruas kali belu buto dan mawe. Pilihan perjalanan selanjutnya
adalah menyusur belu buto hingga berakhir di mata air lewu reu, tepatnya sekitar ruas kali
mati kepakiri.
Rupanya di kali mati kepakiri rombongan
menghadapi jalan buntu. Ada lereng
terjal yang sulit didaki. Tetua
rombongan lalu meminta untuk di buatkan sebilah tombak dari batang bambu (rehpang). Tombak itu lalu dilemparkan ke
arah mata air Lewu reu. Sebagaimana
tuturan, tombak yang dilempar tetua tersebut menembus liang mata air, terus merambah dalam
tanah sepanjang punggung bukit hingga terpelesat keluar dari pucak bukit. Rombongan
dipersilahkan untuk melanjutkan perjalanan mengikuti alur tombak.
Lubang keluar tombak bambu diperkirakan sekitar pelataran hutan larang Nara uha. Sekarang bekas lubang itu ditutup
dengan timbunan batu. Orang atakowa percaya bahwa jika tumpukan batu tersebut dibuka bisa
terjadi bencana hebat air bah. Dari dalam liang menyemprot keluar air laut bersama
sosok-sosok manusia baru dengan macam-macam karakter.
Tentang peristiwa tombak bambu ini
terungkap melalui penggalan syair :
Ina
kepakiri ama wuanbala
Gu
rehpa pou pele gu gala lebo lele
Lewu
tuang sa’rang ulung
Bre
bao larang wulan lodo hodi hea
Artinya :
Ibu kepakiri bapa wuanbala; tombak bambu
tombak tembagaku pasti tembus pasti melintas; kampung tua hunian lama; turun
dan tangkap dari atas beringin putih. Syair ini lebih sering dipakai sebagai mantra adat. Rangkaian
kata di setiap lariknya memiliki makna bersayap sehingga agak sulit ditafsir.
Dari penggalan syair “Ina kepakiri ama wuanbala” dapat diketahui bahwa ada tokoh yang berperan sebagai induk semang dan leluhur orang Atakowa. Penggalan
ini merupakan sebutan untuk nama sepasang suami istri. Kedua sosok inilah yang menurunkan suku-suku asli Atakowa. Ina Kepakiri adalah ibu yang agung, yang melahirkan sosok manusia
baru. Ama Wuanbala adalah bapak yang
mengayomi, yang menjadikan sosok manusia baru itu bermartabat.
Sebagaimana keterangan lisan dari tetua
suku Ole pu’e, Alm. Bp Paulus Lewo, Orang Atakowa mempunyai tokoh kebagaan yang
menjadi simbol dan nama besar kampung, yaitu Ina kepakiri dan Ama Wuanbala. Semua bentuk ritual adat selalu di tujukan
kepada kedua Tokoh ini. Diyakini bahwa kedua figur ini memiliki peran sebagai
perantara dalam hubungan vertikal antara manusia di bumi dengan Ama Lera wulan Tana Ekan.
Ditilik dari struktur kekuasaan dan budaya
animisme kedudukan Ina Kepakiri Ama
Wuanbala langsung di bawah Lera wulan
tana ekan. Benediktus Kada Koten,
1979. Dalam studi tentang Tumbuhnya Kepercayaan Asli Masyarakat Lewolema,
mendeskripsikan Lera wulan tana ekan sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi, sang pencipta yang menjadikan langit dan bumi.
Wujud Ina Kepakiri Ama Wuanbala dalam sistem ritual
adat kampung Atakowa disimbolkan
dengan lempengan batu/batu ceper dan
tugu batu. Batu ceper = simbol tokoh perempuan sedangkan tugu batu = simbol
tokoh laki-laki. Kedua simbol ini biasanya dipasang berdampingan di depan bagunan
O’e (rumah kecil diatas empat tiang
yang digunakan untuk menyimpan benda-benda ritual seperti elu = batu asa; bohpong =
batu bulat yang dipercaya memiliki kekuatan magis dan gong keramat).
Situs-situs ritual ini sekarang tidak ditemukan lagi karena telah dimusnahkan
bersamaan dengan masuk ajaran agama Katolik ke wilayah Leragere.
Dalam tradisi adat lamaholot situs
ritual dalam bentuk lempengan dan tugu batu disebut nuba nara. Sebagaimana deskripsi Benediktus Kada Koten, nuba nara merupakan simbol yang mengambarkan sosok
leluhur sekaligus menunjukan wujud yang maha kuasa, yang menjadikan segala sesuatu.
Komentar
Posting Komentar