Suku-suku dan Struktur Sosial Atakowa
Penggalan 4
MENGALI KEBUDAYAAN
KAMPUNG ADAT ATAKOWA
Suku-suku dan Struktur
Sosial Atakowa
Nenek
moyang orang Atakowa akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan
lagi dan memilih puncak bukit Bawalire sebagai
tempat tinggal. Alasan memilih tempat ini karena letaknya tepat di puncak bukit
dengan lereng yang terjal dan mudah dijangkau dari arah Nara Uha. Seiring pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan untuk
berkebun, kampung Bawalire lalu dipindahkan ke Lewu
tuang.
Sebagaimana
tuturan alm. Bp. Leo Leang, orang
Atakowa yang menghuni kampung Lewu tuang terdiri
dari tujuh klan/marga yaitu : Tarang ela,
ole pue, lape langu, uung pue, bihte pue, ahtung pue dan ubang pue.
Dari ketujuh klan ini ternyata hanya
satu saja yang nama klannya tidak dirujuk dari nama pohon yaitu tarang
ela, artinya tanduk/kepala. Keenam marga lainnya merujuk pada nama pohon. Ole = lontar; Lape =
sejenis meranti; uung = sejenis
tumbuhan semak berbatang sangat keras; bihte = sejenis tumbuhan semak banyak
getah; ahtung = sejenis kaktus dengan
banyak duri; ubang = sejenis
randu hutan berdaun lebar. Kesatuan dari ketujuh klan ini membentuk suku besar
Atakowa.
Menurut
keterangan lisan alm. Bp. Paulus Lewo, tarang
ela adalah klan pemegang hak sulung. Klan ini diberikan mandat sebagai
pemangku adat dengan tugas antara lain : 1) pemegang kepala ayam (pehe) dalam ritual kampung; 2) Pemegang
dan pemukul gong pemanggil hujan; 3) menjadi orang pertama dalam menyajikan
persembahan kepada leluhur (nei tua
lolong, ga mara waheng)
Beberapa
tahun kemudian ada rombongan pengembara
yang datang dari arah Timur pulau Lembata. Menurut alm. Bp. Thomas Lusi,
mereka datang dari daerah wulorebong. Sebuah dataran sekitar kaki gunung uyelewun. Oleh para pemimpin kampung (kebelang rasa) kelompok kecil pengembara
yang diketahui sebagai rumpun keluarga dua bersaudara Leopah Dipaweso dan Tengatoh
Dipaweso ini ditahan untuk tidak melanjutkan perjalanan lagi dan diberi
tempat menetap. Tempat yang ditunjuk adalah daerah sisi Utara kampung.
Dalam bahasa setempat disebut lewo wera (kampung Atakowa sekarang).
Turunan
dua bersaudara Leopah Dipaweso dan Tengatoh Dipaweso terus bertambah banyak
dan membentuk suku Lewerang. Nama suku ini disesuaikan dengan nama tempat dimana
mereka tinggal dan membangun kampung. Nama Lewerang
merupakan adaptasi dari gabungan kata lewo
= kampung; wera = sisi luar,
batas sebelah Utara jika posisi kampung
memanjang ke Selatan atau batas sebelah Timur jika posisi kampung memanjang ke
Barat atau sebaliknya. Sesuai dengan alur turunan suku Lewerang kemudian di
pecahkan menjadi dua sub/marga yakni : Ahtu
langu yang mencakup marga turunan Leopah
dan Ahtu lolo mencakup marga turunan Tengatoh.
Setelah
orang-orang suku Lewerang
masuk
lagi tiga kelompok pengembara. Kelompok pengembara pertama adalah satu rumpun
keluarga yang datang dari arah Barat. Oleh pemimpin kampung mereka di beri
tempat tinggal sekitar belakang O’e. Sesuai tempat tinggalnya klan ini
diberi nama O’e ubang (belakang
o’e).
Kelompok
yang datang setelah O’e ubang dari arah Barat melalui jalur kali mati lewu roba.
Kelompok ini disebut dengan nama marga Wullo langu. Kelompok pengembara lain yang datang hampir bersamaan
dengan wullo langu adalah orang-orang
kowa lolong bao sarang. Konon katanya
mereka datang dari arah timur melalui kali mati ahpu mahte. Kelompok dari ahpu mahte ini diberi nama marga Wullo lolo. Orang-oang Wullo loangu dan Wullo lolo mendapat tempat
tinggal di tepi Barat namang. Dalam urusan ritual dan adat kampung marga O’e
ubang, Wullo langu dan Wullo lolo bergabung dengan suku besar Lewerang.
Dari
uraian tentang suku-suku ini dapat diketahui bahwa penghuni kampung Atakowa
sekarang terdiri dari dua suku besar, yaitu suku Atakowa dan suku Lewerang. Dalam
sistem ritual dan adat kampung kedua suku ini memiliki hak berbeda. Sebagaimana
tuturan alm. Bp. Philipus Polo, hak pada suku Atakowa adalah kebelang rasa. Membanding uraian B. K. Koten, koten, 1979. Dalam studi tentang
Tumbuhnya Kepercayaan Asli Masyarakat Lewolema, pengertian kebelang rasa sama dengan ata
kebelen. Orang-orang yang berasal dari suku tuan tanah (tanah alep) dan secara geneologis
diterima sebagai pemimpin. Dalam sistem ritual adat kedudukannya lebih tinggi
dibanding kelompok ata ribu (rakyat
biasa, bukan tuan tanah).
Kebelang rasa
dalam sistem ritual kampung memiliki
tiga hak antara lain :
1.
Pehe;
Tugasnya memegang kepala ayam pada saat ritual pehe manu. Ini merupakan hak suku sulung yang berstatus pemangku
adat.
2.
Hi’i;
Tugasnya
membelah paruh ayam dari arah depan ke belakang pada saat ritual pehe manu.
3.
Twara;
Tugasnya
membacakan mantra sebagai penguat dan pemberi kepastian.
Hak
pehe, biasanya diwariskan turun temurun. Dapat
dialih atau dipindahtangankan bila suku pemilik hak tersebut tidak mempunyai
turunan laki-laki lagi. Dalam bahasa setempat disebut rahto.
Komentar
Posting Komentar