PENDIDIKAN ITU KITA


Oleh : Drs. Marselinus Boli

Anak dihukum fisik, di medsos orang tua dan masyarakat rame-rame menyerang guru. Guru juga tak mau kalah, balas menyerang dengan dalil fungsi  pentingya dalam membentuk karakter  manusia. Andaikan guru dan orang tua tidak terjebak emosi mungkin tak pernah ada hukuman fisik, lalu saling serang yang cendrung tak bernalar itu. Pendidikan adalah sebuah sistem yang kompleks, ditangani banyak pihak untuk kepentingan dan tujuan sama. Ini semua bisa terjadi karena ketidaksepahaman konsep bahwa, PENDIDIKAN ITU KITA, bukan saya,  kamu, dia atau mereka.
Mengapa harus kita ?
Kata “Kita” menurut  kamus bahasa Indonesia merupakan   sebuah pronomina persona  pertama jamak.  Kata ganti ini bermakna menyatukan tanpa kecuali, karena di dalam  kita  ada  subyek saya, kamu, dia, mereka. Ketika digunakan sekat antar subyek  tergerus. Terkait sistem komunitas sosial,  kita  mengeliminir ego dan dikotomi suku atau kelompok. Menjadi payung besar yang mematikan fungsi payung-payung kecil di bawahnya. Terkait persatuan dan tanggung jawab,  kita merangkul semua pihak tanpa kecuali.
Jika pendidikan merupakan  sebuah tanggung jawab maka sebutan kita paling pas untuk para pengembannya. Berpatok pada ketentuan pasal 6, ayat (2) UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003. Bahwa, Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, sebutan kita dalam tanda petik  pengemban tanggung jawab pendidikan nasional  juga menganut   prinsip tanpa kecuali. Artinya  tidak ada satu warga negara pun  berada di luar taggung jawab itu.  Tentu saja besar tanggungjawab masing-masing  disesuaikan dengan kedudukan serta fungsinya dalam sistem sosial masyarakat. Merujuk pada pasal 7 – 11, guru, orang tua peserta didik, pemerintah dan masyarakat sekitar menjadi kelompok  yang paling bertanggung jawab dalam  menjamin kelangsungan sebuah satuan pendidikan.
Guru adalah eksekutor lapangan. Ada sejumlah kewajiban yang melekat pada tubuh seorang guru antara lain : merencanakan , melaksanakan proses,  menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran bermutu; Mengembangkan kualifikasi akademik serta kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; Bertindak objektif atau dengan kata lain tidak diskriminatif dalam pembelajaran. Sebagai tenaga professional seorang guru tidak bisa menghalalkan segala cara demi sebuah perubahan prilaku. Ada rambu-rambu pengingat dan sandaran teori yang memandu tindakannya.  Kerja sama dengan tiga komponen lainnya juga termasuk faktor penentu sukses yang tidak kalah penting.
Orang tua peserta didik adalah peletak dasar pendidikan dan paling bertanggung jawab atas masa depan anak-anaknya. Sejak usia nol sampai menjelang lima tahun  anak dididiknya sendiri.  usia lima sampai jelang tujuh tahun dibantu para pengasuh kelompok bermain dan ketika masuk tujuh tahun baru tugas  itu dibagi degan sekolah. Tugas dibagi artinya bukan diserahkan sepenuhnya. Jadi tanggungjawan  pendidikan anak lebih lanjut  bukan hanya sekolah saja.  
Pemerintah dan masyarakat termasuk unsur perekat structure building kita dalam mengemban tanggung jawab pendidikan.  Pemerintah memiliki tugas mengarahkan, membina, mengawasi proses dan menyediakan modal yang dibutuhkan. Sedangkan tugas masyarakat membantu mengawasi dan turut  mendukung biaya penyelenggaraan. Fungsi kontrol baik dari pemerintah maupun masyarakat dapat mendorong kemajuan serta memperkuat sistem kelembagaan.

Mis konsepsi tugas fungsi menjadi akar masalah
Hampir setiap hari kita disugukan pemberitaan soal perseteruan guru dengan orang tua  gara-gara ulah anak. Anak kedapatan merokok, dijewer guru,  orang tua ngamok ke sekolah. Anak menjahili ibu guru, diskorsing  sekolah,  orang tua menuntut  pertanggungjawaban dinas pendidikan. Anak mencaci maki guru lewat medsos lalu dikeluarkan dari sekolah, orang tua membawa persoalan ke lembaga perlindungan anak. Lebih buruk lagi, anak terlambat sekolah, dihukum lari oleh guru akhirnya meninggal dunia, Lembaga HAM, kepala wilayah dan polisi pun ikut bicara. Anak membunuh gurunya karena dilarang merokok, semua pihak cendrung diam lantaran bingung.
Perseteruan guru-orangtua termasuk teladan negatif  ketidakmampuan mengotrol emosi. Kalau saja  guru  bersandar pada  teori Gesell, bahwa pertumbuhan adalah sebuah keajaiban, nakal, suka bohong, tidak disiplin dan membangkang merupakan  gejala  dari proses pertumbuhan menuju dewasa, tentu tak ada ledakan emosi yang berdampak fatal bagi anak. Coba orang tua memainkan perannya dengan baik dalam membentuk karakter anak sejak dalam kandungan  pasti gejala ekstrim   pertumbuhan yang memicu perseteruan itu  mudah dikendalikan.  
Menyadari peran dan memahami tugas fungsi masing-masing merupakan salah satu kunci pencegah kisruh guru-orang tua. Terkait tugas  di sekolah sebagai  pembina karakter kedewasaan, kesadaran pertama yang harus dimiliki guru adalah memaklumi ketidakteraturan, ketidakserasian, dan keburaman arah pandang anak. Intervensi tindak guru mestinya bisa membuat menjadi teratur, serasi  dan punya visi jauh ke depan, bukan sebaliknya. Kesadaran keduanya, memaklumi  bahwa anak mempunyai dunia sendiri. ketika berproses guru hendaknya masuk ke dunia mereka (anak) dan menghantar dunianya (orang dewasa) kepada mereka. Kekerasan bisa timbul jika anak dipaksa  masuk ke dunia orang dewasa.
Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak. Mengapa  utama, karena hanya orang tua yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan prilaku, bahkan hidup anak mereka sejak terbentuk sampai dewasa. Pihak lain termasuk guru cuma unsur tambahan. Porsi tanggung jawabnya tergantung konsesus budaya  perdaban saat itu. Perkembangan era ini dengan campur tangan negara terhadap pendidikan anak begitu jauh membuat kesadaran peran orang tua makin pudar. Hal ini pula yang menyebabkan  orang tua cendrung menyerahkan semua urusan pendidikan anak kepada sekolah. Sebuah mis konsepsi yang bisa memicu kisruh. Anak gagal ujian guru disalahkan. Anak berprilaku tak sopan guru juga yang disalahkan.

Pembagian peran secara tegas bisa mencegah kisruh
Ketika terjadi kisruh biasanya  guru dan sekolah  bertahan pada pedoman tata tertib yang dibuatnya, sementara orang tua   menuding sekolah sebagai biang utama, pihak yang lalai  dalam mendidik anak-anak mereka. Di situasi macam ini khalayak umum cendrung memihak orang tua sedangkan pemerintah setempat berupaya jadi penegah tapi kebanyakan gagal. Mestinya pedoman tata tertib sekolah bisa menjadi kunci pemecah persoalan yang baik, tetapi mengapa nyatanya tidak demikian ?
Setidaknya ada dua kelalaian yang sering dilakukan  sekolah dalam  perumusan pedoman tata tertib. Pertama, rancangan tata tertib tidak dimusyawarahkan bersama orang tua, pemerintah dan tokoh masyarakat setempat, diikuti sosialisasi kepada khalayak umum. Itu sebabnya apa yang telah dirumuskan dengan susah payah tersebut sulit diterapkan. Kedua,  isi uraian tata tertib tidak menyentuh pembagian peran secara tegas antara pihak sekolah, orang tua, pemerintah dan masyarakat, terkait pembinaan karakter anak. Akhirnya pedoman tata tertib yang dihasilkan tak lebih dari sebuah dokumen standar administrasi pengelolaan saja. Hanya sekolah sendiri  yang paham isinya.
Untuk mencegah salah paham dan saling tuding antar pihak sebuah tata tertib sekolah harus memiliki bagian panduan karakter yang sekurang-kurangnya menjabarkan  tentang : 1) Cakupan karakter binaan; 2) Pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini guru, orang tua, pemerintah dan masyarakat; 3) Deskripsi peran dari masing-masing pihak yang bertanggung jawab; 4) Strategi pencegahan; 5) Strategi penyelesaian konflik. Rumusannya bisa disatukan per karaketer per pasal, bisa juga dalam pasal berbeda.
Ambil contoh, pedoman tata tertib masuk sekolah bagi siswa. Jika rumusannya disatukan haya dalam satu pasal saja maka ayat pertamanya mendeskripsikan secara jelas waktu tiba dan pulang sekolah. Ayat kedua menjelaskan peran dan batasan tanggung jawab sekolah, ayat ketiga tentang peran dan batasan tanggungjawab orang tua, ayat keempat tentang peran pemerintah dan masyarakat, ayat kelima tentang upaya pencegahan, ayat keenam tentang sanksi dan nilai karakter, ayat ketujuh tentang strategi penyelesaian konflik.
Rumusan tata tertib dengan pembagian peran jelas dapat membangun rasa tanggung jawab antar pihak. Guru tidak lagi memandang dirinya sebagai terpenting dan satu-satunya yang paling bertanggung jawab, orang tua bukan cuma suporter saja, tetapi pemain yang memperkuat tim, demikian juga pemerintah dan masyarakat sekitar. Ibarat sepak bola guru, orang tua, pemerintah dan masyarakat sekitar adalah sebuah tim yang solid. Ketangguhan tim bisa hilang  bila ada anggota melakukan pelanggaran atau berbuat curang.
Namanya tim berarti targetnya  juga kemenangan tim bukan kemenengan diri. Yang berlaku dalam tim adalah kita, bukan saya, kamu, dia atau mereka. Kerja sama dan Kesadaran peran  masing-masing menjadi faktor penentu kemengan. Tim yang baik tidak memberi ruang untuk kisru antar pihak menjadi lagu wajib



Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEKNOLOGI PERKEMBANGBIAKAN HEWAN

TEKNOLOGI PERKEMBANGBIAKAN PADA TUMBUHAN

REPRODUKSI SEL